Gerakan Santri Membaca
Ditulis oleh: Petang Segara
katanya satu menjadi pikiranpusat gelombang aliran renungan [H.B. JASSIN, “Kawanku” dalam “Darah Laut”]
Tentu sulit menemukan karakter seperti dalam puisi H.B. Jassin yang saya kutip di atas, sama sulitnya menemukan presiden atau wakil rakyat yang benar-benar ideal. Baik karakter dalam puisi H.B. Jassin dan presiden ideal selalu berada di wilayah subyektif. Namun kita selalu menemukan cerita mengejutkan di hari Minggu. Kita sering menemukan dalam perasaan diri kita sendiri semacam ini: mukjizat tidak benar-benar dibawa mati para nabi.
Misalnya kita masuk ke potongan-potongan dunia kelam seorang perempuan belia melalui sajaknya: “biarlah aku tetap aku//yang mengeja takdir dalam sunyiku,” yang sebenarnya ia sedang tidak berbuat apa-apa kecuali menyembunyikan diri sepenuhnya ke dalam sajak. Sebuah sajak yang mampu menggali lubang begitu dalam mata saya, lalu dengan sendirinya menciptakan rongga. Perempuan adalah bagian gelap dari lobang itu sendiri; hirarki selalu tampak kentara meski respons berbeda misalnya, tampak pasrah ada yang berusaha merobek jaring yang diciptakan norma, kebiasaan, adat akibat kesadaran setiap hirarki selalu menumbalkan kreatifitas dan potensi-potensi baik personal mau pun kolektif.
Sekarang kita bayangkan begini: ada seorang perempuan masih muda yang memiliki kekuataan berbahasa namun tidak bisa mengembangkan karena dipasung oleh kekuatan bernama budaya dan adat istiadat. Hasilnya ia menulis (puisi) tidak menggunakan apa-apa selain desakan emosional jiwa-kontemplasi; tidak pernah tahu siapa itu Toni Morrison, Gerry van der Linden, Sergei Yesenin, Ferdinan de Saussure, Jacques Derrida, Sitor Situmorang, Timur Sinar Suprabana, Beno Siang Pamungkas, Danarto, A.S. Laksana, dll dan tidak pernah membaca—sekadar menyebut judul--Novel 1984, Philosophy in the Boudoir, Rumah yang Sunyi, Kering, dan sebagainya.
Kita membayangkan dunia muram tersebut di Minggu pagi hari sambil membaca koran, minum bir atau kopi, rokok atau kacang sekaligus tak pernah berhenti berpikir dunia, dari semua yang mengelilingi kita ini yang manakah dunia? Saya yang terlanjur jatuh cinta pada “puisi polos” perempuan itu segera menjawab bahwa dunia adalah sehimpun puisi yang dirahasiakan ke dalam air mata yang tak kunjung menjelma hujan, embun atau bianglala oleh seorang perempuan korban egoistik laki-laki, di dalamnya termuat ayah, kakak, tetangga, kiai; maskulinitas. Perempuan pengeja takdir di Madura sebenarnya banyak sama banyaknya dengan setiap kecamatan tanpa perpustakaan. Berbanding dengan laki-laki yang merasa sebagai penguasa perempuan.
TUHAN DAN HAL-HAL KECIL YANG MEMPESONA
Awalnya saya dan beberapa kawan tanpa rencana matang sebelumnya sekitar lima orang berangkat ke Surabaya hendak belanja buku-buku untuk perpustakaan yang sedang kami upayakan berkembang dengan tindakan-tindakan nyata, yaitu mengajak para penyuka buku, yang memang begitu peduli untuk “sembahyang” secara berjamaah demi terwujudnya nilai yang lebih utuh, universal, ‘seksi’ dan menggairahkan.
Di Kampoeng Ilmu seorang perempuan anggun paruh baya sibuk membolak-balik buku-buku sebelum kemudian mencatat dengan detail dan sesekali pandangannya dilempar ke kami, cara kami menawar buku yang, barangkali dalam benak perempuan anggun bermartabat tersebut terkesan seperti sedang mempertahankan nyawa kami sendiri.
Di Minggu 18 Oktober 2015 itu saya kira Tuhan juga berada di kepadatan pengunjung, menawar buku atau sedang Santai di hati perempuan berjilbab putih bermanik, yang bicaranya runut-lembut sambil baca puisi-puisi Mustofa Bisri. Sebab, di Minggu itu saya seperti mendengar denting senar biola Idris Sardi. Minggu indah, Minggu puisi bersama perempuan yang memperkenalkan diri: Umi Huraira.
Umi Huraira perempuan yang membangun monumen doa-monumen doa dengan mendirikan perpustakaan di beberapa daerah dan yayasan yatim-piatu, yang membayari belanjaan kami sepenuhnya di kesempatan itu, menganggap kami anak beliau sendiri, mengizinkan kami bertamu ke kediaman beliau untuk menindak-lanjuti tindakan selanjutnya, mencerdaskan bangsa. Hal-hal kecil mengejutkan semacam ini mempesona. Karena di tengah begitu banyak manusia sibuk untuk diri sendiri, ada satu manusia yang secara tak langsung membakar semangat kami, yang dipertemukan Tuhan dalam narasi sepele oleh manusia untuk memanusiakan manusia.
Semua yang dilakukan dengan Indah oleh Umi Huraira sebagai hadiah cinta pada mendiang suami, Burhan Chotib. Semoga cinta berbuah limpahan rahmat. Semoga segala yang diterimakan menjadi tempat abadi kelak. Amin ya Robb Maha Puisi. Saya akan menggunakan tulisan ini untuk melontarkan dunia yang absurd; perempuan pembangun monumen doa demi mengekalkan cinta seperti Umi Huraira dan perempuan pengeja takdir demi taat pada kebiasaan dan membunuh cinta perlahan-lahan dengan sangat terpaksa laiknya sahabat yang baru saja saya kenal karena puisi (buku).
Waktu menulis ini, Umi Huraira saya, entah mengapa terus-menerus teringat puisi Afrizal Malna sambil ketakutan tidak bangun pagi, karena besok, seperti biasa harus bekerja. Saya catat di sini sebagai terima kasih: “aku tak bisa membaca puisi dengan cokelat dalam mulutku.” Akh, sebenarnya orang seperti saya selalu tidak paham beda mengunyah cokelat dan makan ngar-sangara jagung. Sebab, masalah kami bukan “keadaan” seperti itu, melainkan mendapatkan buku-buku puisi, Umi Huraira.
Kampoeng Ilmu, 19 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar