Mari Dukung Gerakan Santri Membaca Untuk Mewujudkan Santri Cerdas dan Beraklak Mulia

SELAMAT DATANG

Kamis, 15 Oktober 2015

Surat Terbuka Untuk Tuhan

Gerakan Santri Membaca
Kepada Yang terhormat: Tuhan.

Akhirnya Tuhan, aku menulis surat ini pada Engkau setelah tiga kali (seingatku) A.S Laksana menulis surat terbuka juga untuk Jokowi di koran Jawa Pos, yang aku rasa Presiden Indonesia, pilihanMu itu sama sekali tidak membacanya. Beliau pasti malas membaca surat apa lagi surat yang sengaja disimpan di koran. Engkau tidak sibuk kan?

Isi surat ini sebenarnya tidak penting bagi kebanyakan rakyat Indonesia; sebuah surat yang ditulis manusia yang imannya Senin-Kamis, hanya berisi keluhan, permintaan kecil, ketidakmampuan dan, semoga aku tidak lupa nanti, juga mengandung pertanyaan sederhana.

Begini, Tuhan,  aku berada di desa jauh dari kota sangat menginginkan, mengharapkan, begitu perlu adanya tiap kecamatan pemerintah memprogamkan, diundang-undangkan, membangun satu saja perpustakaan sebagaimana tiap kecamatan ada puskesmas;  seperti tiap kabupaten ada perpustakaan. Aku ingin membaca supaya cerdas spiritualitas-intelektualitas-interpersonalitas, kebetulan aku miskin.

Buku-buku mahal oleh sengkarut birokrasi dan sistem pasar kapitalisme. Aku butuh buku Seperti aku butuh makan. Tapi, presiden mulai dari Soekarno sampai Jokowi hanya insyaf dengan kebutuhan terakhir yang aku sebut tadi, misalnya hanya kebijakan RASKIN bukannya pula BUKIN (buku untuk rakyat miskin). Aku kecewa Tuhan.

Sebenarnya tidak hanya manusia sejenis Jokowi saja pesantren sekaya Sidogiri, sibuk menebar BMT dan market-market menyaingi pasar tradisional. Tuhan sudah pasti tahu, mulai dari tingkat kabupaten sampai kecamatan,  BMT dan market-market atas nama Sidogiri bertebaran di seluruh Indonesia, kecuali belum aku lihat di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Aku tahu alasan Sidogiri: mengawal, menjelaskan kepada rakyat bagaimana transaksi yang benar, yang tidak tergelincir pada lobang riba. Sistem modern, yang dilupakan, sepertinya, selalu berkonsekuensi keribetan, keterpaksaan, bukan kesadaran karena luas-dalamnya pengetahuan masyarakat. Itu sia-sia.

Aku mencintai Sidogiri sebagaimana aku dengan Indah mencintai Lanbulan. Sebab itulah,  aku menulis surat ini kepada Engkau. Bukan pada Jokowi, Setya Novanto, Fadli Zon, Susi Pudjiastuti, Shimon Peres, Arist Merdeka Sirait, Retno Lestari Priansari Marsudi, Ruhut Sitompul, Farhat Abbas, Syahrini, Khofifah Indar Parawansa, Raffi Ahmad, Anthony Atkinson, dan manusia-manusia pintar lainnya: mereka terlalu sibuk untuk sekedar membaca surat apa lagi surat dariku, manusia desa yang jikapun mereka membacanya tidak akan pernah bisa berpengaruh banyak atas karir mereka, Tuhan. Engkau tidak sibuk bukan?

Dan untuk itulah, aku, atas anggukan Engkau, entah romantis atau isyarat yang tak akan pernah aku pahami 'mendirikan' komunitas kecil-kecilan bersama orang kecil-kecilan untuk orang kecil-kecilan juga. Tuhan, aku sekarang sudah tidak berdiri seorang saja, izinkan aku menyebut diri yang sebelumnya hanya seorang saja dengan Kami. Engkau juga berada dalam kata Kami--kadang kami dilain tempat menggunakan kata Kita.

Yang Kami sebut kecil-kecilan karena orang yang mencintai buku tidak banyak; pembaca buku tidak banyak apa lagi pembaca yang baik. Tak aneh kalau tindakan Kita dikesankan subversif, sabotase, sinting, Tuhan. Engkau sendiri pasti tahu kan jawaban orang-orang yang masuk ke inboxku. Sangat kadang lebih baik putus cinta daripada membaca kalimat-kalimat mereka. Pedih, miris. Dalam keadaan seperti itu, terkadang kami lebih baik berusaha membeli, membaca, menambah koleksi perpustakaan pribadi ketimbang disibukkan demi kepentingan kolektif, masyarakat luas, dengan menyadarkan orang lain yang tidak memiliki kesadaran betapa buku penting.

Ucapan-ucapan mereka ketika aku menjelaskan maksudku, Engkau pasti mendengar. Oh, gusti, sering aku berpikir kenapa aku hidup di Indonesia yang jutaan saudara-saudaraku: Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Habib Rizieq Syihab, Ulil Abshar Abdalla, Denny JA, Said Aqil Siroj, Amien Rais dan lain sebagainya lebih sering menjejalkan pikiran mereka sendiri di tv; kami butuh cakrawala pengetahuan yang luas.

Agama akan hancur di tangan manusia-manusia yang malas membaca. Negara akan binasa oleh jumlah rakyat malas membaca. Apa arti al-Quran, suaraMu yang sebelumnya tidak berbentuk apapun yang berkemungkinan dipahami selain Engkau? Tuhan, apa yang Kau perintahkan untuk dibaca dalam surah Iqra' itu, yang kemudian bikin junjungan Nabi Muhammad menggigil?

Oh, Tuhan Maha Menyenangkan. Tuhan Maha Romantis. Tuhan Maha Mengejutkan. Oh, Tuhan yang sering dilupakan, beri aku sedikit saja sifat menyenangkanMu dalam bertingkah-berbuat, beri sedikit saja keromantisanMu dalam tiap menyapa agar ke dalam surat ini aku tengah memasuki ruang paling sunyi untuk bersemedi, bertapa, menyendiri kecuali bersama Engkau dan orang-orang romantis, yang tentu Engkau mencintainya.

Hampir lupa, aku ingin menyampaikan terima kasih--semoga Kasih diterima dengan Kasih--kepada orang yang ternyata banyak membantu dalam kegitaan Kita: mentransfer sejumlah uang dan mengirim beberapa buku untuk perpustakaan yang sedang Kita kembangkan. Terima kasih pula sudah berkenan berada dalam barisan Kami. Kepada orang-orang yang acuh, tak peduli, mencibir kami semogakan tetap jaya. Tanpa lawan siapalah diri kami.

Aku berharap surat ini tidak dibaca Jokowi apa lagi Syahrini dan orang-orang lain yang memiliki tingkat kesibukan melebihi Engkau. Sudah dulu, Tuhan. Aku mau bobok, agar setelah bangun nanti kami tetap dalam keadaan sembahyang berjamaah di Surau Komunitas Pecinta Buku ini dengan begitu romantis, Tuhan. Kami titip Komunitas Pecinta Buku pada Engkau.


Salam dari kami:
Zamzamul Adhim
Muktasim Billa
Syamsul Arifin
Mochammad Khotib


15 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GERAKAN SANTRI MEMBACA